Nahwu Shorof versi DOSEN
Nahwu Shorof
Sedikit aja, nahwu itu bcr tntang bunyi akhir dr sebuah kata dlm bhs arab. Shorof bcr ttg wazan/rumus kata dlm bhs arab.
Contoh nahwu:
Ahmadu vs ahmada, yang "u" artinya subjek, yang "a" artinya objek.
Contoh shorof:
fa'ala yufa'ilu taf'iilan yg digunakan untuk kata tauhid, jika dimasukan menjadi wahhada yuwahhidu tawhiidan
Nha, shorof itu bagian dari nahwu.
Tentu bahaya jika seorang kyai kurang memahami ilmu nahwu shorof, nanti pas nguji santrinya...dan misalnya si santri lebih faham krn pernah belajar ke kyai lain tentang nahwu shorof, suasana ujian mendadak "unik". Ketertekanan peserta ujian lebih dekat kpd takut salah menjawab, bukan karena harus berusaha menjawab dengan benar. Bayangkan jika si santri ngotot memertahankan pendapat benarnya, lalu si kyai dengan arogan menyatakan si santri salah. Kasihan peserta ujian jika keadaannya seperti ini. Jika dia berkata benar, bisa gagal, jika dia berkata salah dan melawan kata hatinya, mungkin saja nilainya bagus.
Nha, nahwu shorof itu (boleh saja dong) saya analogikan dengan regresi korelasi. Kita bisa perdebatkan nanti tentang kesepadanannya, tapi dalam banyak hal kan mirip.
Regresi merupakan kelanjutan dari korelasi yang hanya bicara hubungan tanpa urutan. Berbeda dengan regresi yang berani menentukan mana anteseden dan mana konsekuen. Itupun dari teori. Regresi bicara tentang analisis residual, buktinya hanya multikolinearitas saja yang ngoceh tentang hubungan antarvariabel bebas dalam syarat regresi (asumsi klasik).
Selain harus faham regresi dan esensi korelasi, seorang "kyai" juga harus dong/faham dengan validitas dalam penelitian. Bukan hanya instrumen yang harus divalidasi, bahkan sampel, waktu, dan ruang juga harus valid. Lucu dong kalo kita ambil data mahasiswa yg ketika diuji instrumennya valid secara statistik, tapi yang ngisi instrumen itu anak perempuan ibu kos-kosan yg berumur 9 thn. Walaupun valid statistik terpenuhi krn kebetulan, tp valid sampel tidak.
Gak bicara diri sendiri, bahkan dosen kampus negeri pun, belum tentu faham bahwa korelasi antarbutir pertanyaan dengan skor total konstrak, bukanlah pengukur untuk valid tidaknya instrumen. Korelasi ini, mencoba mendeteksi kedekatan antara skor perbutir dengan skor total. That's it. Kenapa saya berani bilang belum tentu faham, karena sang dosen bukan dosen di bidang ilmu yang membidani masalah pada pernyataan2 di instrumen itu.
Lebih baik, jika kita belum benar2 menguasai sebuah ilmu, jangan bnyk menshare ke mahasiswa dengan mematikan kemungkinan lain yang berbeda dengan pendapat kita. Kita dorong mahasiswa untuk berfikir kritis, skeptis, dan belajar menganalisis data. Terlalu banyak orang pintar di atas kita.
Selama ini kita menang karena lawan kita mahasiswa. Coba kalo lawan kita dosen-dosen dari kampus lain, kita bisa ga pethakilan sok pinter karena ga ada yang jawab dengan cara ilmiah. Saya ingin berpesan kepada teman dan rekan saya di profesi yang sama, tapi khawatir dianggap menggurui. Jadi saya pesan buat diri sendiri ajalah... "Kamu harus belajar terus ndik...tiap malem mah belum seberapa"
Pengen tahu cara mengecek fahamnya seseorang dengan kata-katanya sendiri? Coba tanya yang bersangkutan dengan pertanyaan "why". Bukan hanya dengan what atau how.
Sedikit aja, nahwu itu bcr tntang bunyi akhir dr sebuah kata dlm bhs arab. Shorof bcr ttg wazan/rumus kata dlm bhs arab.
Contoh nahwu:
Ahmadu vs ahmada, yang "u" artinya subjek, yang "a" artinya objek.
Contoh shorof:
fa'ala yufa'ilu taf'iilan yg digunakan untuk kata tauhid, jika dimasukan menjadi wahhada yuwahhidu tawhiidan
Nha, shorof itu bagian dari nahwu.
Tentu bahaya jika seorang kyai kurang memahami ilmu nahwu shorof, nanti pas nguji santrinya...dan misalnya si santri lebih faham krn pernah belajar ke kyai lain tentang nahwu shorof, suasana ujian mendadak "unik". Ketertekanan peserta ujian lebih dekat kpd takut salah menjawab, bukan karena harus berusaha menjawab dengan benar. Bayangkan jika si santri ngotot memertahankan pendapat benarnya, lalu si kyai dengan arogan menyatakan si santri salah. Kasihan peserta ujian jika keadaannya seperti ini. Jika dia berkata benar, bisa gagal, jika dia berkata salah dan melawan kata hatinya, mungkin saja nilainya bagus.
Nha, nahwu shorof itu (boleh saja dong) saya analogikan dengan regresi korelasi. Kita bisa perdebatkan nanti tentang kesepadanannya, tapi dalam banyak hal kan mirip.
Regresi merupakan kelanjutan dari korelasi yang hanya bicara hubungan tanpa urutan. Berbeda dengan regresi yang berani menentukan mana anteseden dan mana konsekuen. Itupun dari teori. Regresi bicara tentang analisis residual, buktinya hanya multikolinearitas saja yang ngoceh tentang hubungan antarvariabel bebas dalam syarat regresi (asumsi klasik).
Selain harus faham regresi dan esensi korelasi, seorang "kyai" juga harus dong/faham dengan validitas dalam penelitian. Bukan hanya instrumen yang harus divalidasi, bahkan sampel, waktu, dan ruang juga harus valid. Lucu dong kalo kita ambil data mahasiswa yg ketika diuji instrumennya valid secara statistik, tapi yang ngisi instrumen itu anak perempuan ibu kos-kosan yg berumur 9 thn. Walaupun valid statistik terpenuhi krn kebetulan, tp valid sampel tidak.
Gak bicara diri sendiri, bahkan dosen kampus negeri pun, belum tentu faham bahwa korelasi antarbutir pertanyaan dengan skor total konstrak, bukanlah pengukur untuk valid tidaknya instrumen. Korelasi ini, mencoba mendeteksi kedekatan antara skor perbutir dengan skor total. That's it. Kenapa saya berani bilang belum tentu faham, karena sang dosen bukan dosen di bidang ilmu yang membidani masalah pada pernyataan2 di instrumen itu.
Lebih baik, jika kita belum benar2 menguasai sebuah ilmu, jangan bnyk menshare ke mahasiswa dengan mematikan kemungkinan lain yang berbeda dengan pendapat kita. Kita dorong mahasiswa untuk berfikir kritis, skeptis, dan belajar menganalisis data. Terlalu banyak orang pintar di atas kita.
Selama ini kita menang karena lawan kita mahasiswa. Coba kalo lawan kita dosen-dosen dari kampus lain, kita bisa ga pethakilan sok pinter karena ga ada yang jawab dengan cara ilmiah. Saya ingin berpesan kepada teman dan rekan saya di profesi yang sama, tapi khawatir dianggap menggurui. Jadi saya pesan buat diri sendiri ajalah... "Kamu harus belajar terus ndik...tiap malem mah belum seberapa"
Pengen tahu cara mengecek fahamnya seseorang dengan kata-katanya sendiri? Coba tanya yang bersangkutan dengan pertanyaan "why". Bukan hanya dengan what atau how.
Comments
Post a Comment